Sumber Ajaran Agama dalam Mahnaj Tarjih Muhammadiyah

Sumber ajaran agama dalam pandangan Muhammadiyah terbagi dua: tekstual dan paratekstual. Sumber tekstual terdiri dari al-Quran dan al-Sunah al-maqbulah, sedangkan sumber paraktekstual berupa qiyas, maslahat mursalah, istihsan, istishab, saddu al-zari’ah, syar’u man qablana, dan urf. Hal tersebut disampaikan Ali Yusuf dalam kegiatan Sekolah Tarjih se-PCIM Timur Tengah.

“Ini sedikit berbeda dengan kesepakatan Ulama Usul di mana sumber ajaran agama itu ada empat yaitu al-Quran, al-Sunah, Ijma’, dan Qiyas. Bagi kita di Muhammadiyah, sumber ajaran agama yang pokok itu hanya Al-Quran dan al-Sunah. Muhammadiyah mengakui Ijma dan Qiyas sebagai sumber paratekstual atau pendamping,” terang Ali pada Sabtu (28/08).


Mengenai hadis (sunnah), kata Ali, seperti ditegaskan dalam Putusan Tarjih Jakarta tahun 2000, yang dapat menjadi hujah adalah sunnah makbulah. Istilah sunnah makbulah merupakan perbaikan terhadap rumusan lama dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) tentang definisi agama Islam yang menggunakan ungkapan “sunnah sahihah.”


Anggota Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini menjelaskan bahwa istilah sunah sahihah sering menimbulkan salah faham dengan mengindektikkannya dengan hadis sahih. Akibatnya hadis hasan tidak diterima sebagai hujah syar’iah, padahal sudah menjadi ijmak seluruh umat Islam bahwa hadis hasan juga menjadi hujah agama.

“Oleh karena itu untuk menghindari salah faham tersebut, rumusan itu diperbaiki sesuai dengan maksud sebenarnya dari rumusan bersangkutan, yaitu bahwa yang dimaksud dengan sunnah sahihah adalah sunnah yang bisa menjadi hujah, yaitu hadis sahih dan hadis hasan,” tutur alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah ini.


Ali juga turut menerangkan bahwa karakter kerja yang berbeda membuat ijma dan qiyas tidak dijadikan sebagai sumber ajaran agama yang pokok. Sebab, secara mashadir ahkam, yang dimaksud nash itu hanya al-Quran dan al-Sunah. Sedangkan ijma dan qiyas bukan bagian dari nash (ghair al-nash). Pandangan ini berangkat dari asumsi bahwa ijma dan qiyas lebih sebagai proses bukan produk.


“Ijma dan qiyas bisa menjadi sumber ketika ia menjadi sebuah produk. Jadi secara umum, sumber ajaran agama itu al-Quran, al-Sunah, dan ijtihad. Sebab kalau ada suatu masalah tidak ada jawaban detailnya dalam al-Quran, kita cari di al-Sunah, kalau masih tidak ada, kita maksimalkan dengan ijtihad,” pungkas Ali.